Kamis, 26 Maret 2015




Demokrasi Sebelum Reformasi

Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi Parlementer, adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
Demokrasi Terpimpin
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya

Demokrasi Setelah Reformasi

Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya,

Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong royong.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh
Kehidupan berdemokrasi di Indonesia setelah era reformasi di mana seluruh masyarakat mempunyai kebebasan mengeluarkan sikap dan pendapat, tetap harus mempertimbangkan dan menjunjung etika, sehingga tidak terjebak pada asal menyerang, terlebih bila dilandasi oleh
kepentingan politik yang kuat.
"Tidak sedikit masyarakat yang kadangkala tidak berpikir tentang etika, sehingga akhirnya kepentingan pribadinya yang mengedepan. Kalau etika politik tidak tertata dengan baik,maka dikhawatirkan akan muncul budaya seenaknya sendiri, dan ini berbahaya untuk generasi mendatang," kata Mayjen TNI Glenny Kairupan, analis yang saat ini juga staf pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jakarta, Selasa pagi.
Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan konflik yang terjadi antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma`arif, yang kini
imbasnya mulai "memanas".
Sebelumnya, Zaenal Ma`arif menuduh SBY telah menikah sebelum masuk ke Akabri di Magelang. Atas tudingan itu, Presiden Yudhoyono --dalam kapasitasnya sebagai warga negara--kemudian datang ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zaenal Ma`arif, mantan Wakil Ketua DPR yang baru saja direcall.
Pekan lalu, di Nusa Dua Bali, Presiden Yudhoyono mengatakan akan menuntut secara hukum Zaenal Ma`arif --yang baru saja mengalami pergantian antar waktu (PAW)nya sebagai anggota DPR disetujui Presiden--karena telah dianggap memfitnah dan mencemarkan nama
baik Presiden dan keluarganya.
Presiden menyatakan bahwa berita bohong atau fitnah yang disampaikan Zaenal Ma`arif itu sudah sangat keterlaluan karena selain tidak benar juga merusak kehormatan, nama baik, dan
harga dirinya.
"Berita yang disampaikan itu (bahwa) SBY sudah menikah sebelum masuk Akabri, bahkan sudah punya anak dua. Ini persis `black campaign`, fitnah, berita bohong pada saat Pemilu
presiden 2004," katanya.
Berita tersebut juga sangat menghancurkan hati dan perasaan orang tua, istri dan anak-anak
serta keluarga besarnya.
Presiden mangatakan dirinya, sangat tidak ingin politik di negara ini berkembang dengan
cara-cara pembunuhan karakter seseorang.
"Banyak cara-cara politik yang lebih baik, lebih bermoral, dan lebih satria dibandingkan harus melakukan `character assasination` dengan berita-berita bohong, fitnah yang keji seperti ini," katanya.
Presiden juga menambahkan, jika seseorang melakukan penipuan terhadap sebuah lembaga seperti Akabri, itu sama dengan sudah menipu negara dan peraturan yang berlaku di Akademi Militer atau Akabri. Sampai saat ini bahwa taruna yang ketahuan telah menikah atau memiliki anak harus keluar dan dipecat dari akademi tersebut.
Transisi  Menurut Glenny Kairupan, dalam masa transisi demokrasi saat ini --setelah reformasi berjalan hampir 10 tahun--mestinya etika politik yang dapat diteladani publik, dilakukan oleh elit politik, dan justru bukannya memberikan contoh yang tidak etis.
Ia mengatakan, mestinya elit politik dapat menahan diri, dan tidak mengumbar tuduhan yang justru menguras energi bangsa, karena masalah yang dituduhkan adalah masalah di ruang
pribadi seseorang, terlebih Kepala Negara.
"Janganlah ikut-ikutan demokrasi Barat sepenuhnya, karena demokrasi yang ada di Indonesia memang secara kultural dan tingkat pendidikan berbeda dengan masyarakat Barat," katanya.
Ia memberi rujukan bahwa secara kultural, majemuknya budaya yang ada tidak bisa dipaksakan harus merujuk pada budaya Barat, sementara ada fakta lainnya bahwa ada tingkat pendidikan yang berbeda antara Indonesia dengan negara-negara di Barat, sehingga dua faktor dimaksud punya pengaruh signifikan.
"Kalau etika politik dapat tertata dengan baik, saya yakin pada waktunya, `impian-impian` menuju kemiripan dengan demokrasi Barat, mungkin bisa saja dicapai, namun butuh pembelajaran dan waktu secara bersama dari semua elemen dan anak bangsa ini," katanya.
Menurut dia, negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Jerman saja, perlu ratusan tahun membangun untuk memapankan demokrasi yang dianutnya, dan semua itu membutuhkan masa konflik "berdarah-darah", termasuk perang saudara.